Tradisi ini umumnya dilakukan selama periode Mei-Oktober sebab pada bulan tersebut gelombang air laut cukup tenang, sehingga memudahkan para pemburu untuk menaklukan ikan paus.
Tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-16 dengan tantangan yang cukup berat, terutama hal regenerasi. Masalahnya, tidak semua masyarakat Lamalera, khususnya generasi muda tertarik menjadi nelayan, apalagi berpartisipasi dalam tradisi ini. Hal ini disebabkan kemajuan teknologi dan tuntutan hidup, sehingga mereka beralih dari nelayan menjadi profesi lain yang lebih menjanjikan. Di luar apapun kendalanya, perburuan paus ini cukup menarik karena tidak menggunakan alat-alat canggih seperti radar dan senapan, tetapi menggunakan alat-alat tradisional yang diturunkan nenek moyang mereka. Bermodalkan perahu kayu yang memuat tujuh orang awak disebut peledang dan bambu runcing berujung besi disebut tempuling, mereka siap memburu mamalia laut paling besar tersebut. Sedangkan orang yang bertugas untuk menikam paus dengan tempuling disebut lamafa.
Ada tiga jabatan penting dalam satu peledang, yaitu lamuri (juru kemudi), matros (kru perahu) dan lamafa (penikam paus) sekaligus jabatan terpenting di dalam perburuan ini. Menariknya lamafa berdiri di ujung kapal dan menombak paus jenis sperm whales yang sudah dewasa tetapi tidak membunuh paus anakan atau yang sedang hamil. Jauh dari bayangan, para pemburu sungguh lihai mengidentifikasi jenis paus dalam sekejap serta kondisinya. Keahlian ini yang diturunkan oleh leluhur mereka untuk melestarikan tradisi perburuan paus di Lamalera. Lalu, daging hasil buruan akan dibagikan ke seluruh desa, diolah dengan dikeringkan atau diasap dan ada pula yang disimpan untuk persediaan selama setahun. Perburuan ini bukan sekedar menaklukkan makhluk yang lemah, tetapi menunjukkan peradaban leluhur yang sarat nilai. Oleh karena itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat menjadikan tradisi berburu paus sebagai salah satu objek wisata.
Cara Berburu Paus di Lamalera
Sebelum perburuan dimulai, biasanya masyarakat Lembata khususnya Suku Wujon yang tinggal di atas gunung akan turun ke pantai dan berdoa memanggil paus sekaligus meminta berkah dari arwah leluhur untuk para nelayan yang akan pergi berburu. Lalu, pada 1 Mei akan disediakan 20 kapal untuk berburu yang menandakan jumlah suku yang ada di Lamalera, tapi hanya satu yang diperbolehkan untuk berlayar pada hari pertama sebagai pembuka jalan, yaitu perahu Paraso Sapang sebagai suku tertua di Lamalera. Apabila perahu tersebut berhasil menemukan ikan paus, maka 19 perahu lainnya akan menyusul untuk membantu Paraso Sapang. Tetapi, jika perahu tersebut tidak berhasil, maka perburuan dilanjutkan hari selanjutnya secara bersama-sama.
Saat menemukan paus, lamafa dengan berani mendekati hewan tersebut dan perahunya berhadapan sangat dekat dengan kepala paus. Dalam posisi sangat berbahaya itu, ia langsung menikamkan tempulingnya, bambu panjang berujung besi panjang tajam berkait ke ketiak paus yang merupakan titik lemahnya. Untuk melumpuhkan paus sepanjang 10 meter dan tinggi satu meter tidaklah mudah, butuh sekitar 1,5 jam bertarung. Selanjutnya, hewan ini diikatkan pada salah satu sisi perahu dan ditarik ke darat. Kadang-kadang para pemburu tersebut menjadi korban akibat hempasan ekor ikan raksasa yang kaget saat ditombaki. Bahkan, perahu bisa langsung pecah dengan hanya satu kali tebasan ekor paus, sehingga tak jarang ada korban yang jatuh.
Tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-16 dengan tantangan yang cukup berat, terutama hal regenerasi. Masalahnya, tidak semua masyarakat Lamalera, khususnya generasi muda tertarik menjadi nelayan, apalagi berpartisipasi dalam tradisi ini. Hal ini disebabkan kemajuan teknologi dan tuntutan hidup, sehingga mereka beralih dari nelayan menjadi profesi lain yang lebih menjanjikan. Di luar apapun kendalanya, perburuan paus ini cukup menarik karena tidak menggunakan alat-alat canggih seperti radar dan senapan, tetapi menggunakan alat-alat tradisional yang diturunkan nenek moyang mereka. Bermodalkan perahu kayu yang memuat tujuh orang awak disebut peledang dan bambu runcing berujung besi disebut tempuling, mereka siap memburu mamalia laut paling besar tersebut. Sedangkan orang yang bertugas untuk menikam paus dengan tempuling disebut lamafa.
Ada tiga jabatan penting dalam satu peledang, yaitu lamuri (juru kemudi), matros (kru perahu) dan lamafa (penikam paus) sekaligus jabatan terpenting di dalam perburuan ini. Menariknya lamafa berdiri di ujung kapal dan menombak paus jenis sperm whales yang sudah dewasa tetapi tidak membunuh paus anakan atau yang sedang hamil. Jauh dari bayangan, para pemburu sungguh lihai mengidentifikasi jenis paus dalam sekejap serta kondisinya. Keahlian ini yang diturunkan oleh leluhur mereka untuk melestarikan tradisi perburuan paus di Lamalera. Lalu, daging hasil buruan akan dibagikan ke seluruh desa, diolah dengan dikeringkan atau diasap dan ada pula yang disimpan untuk persediaan selama setahun. Perburuan ini bukan sekedar menaklukkan makhluk yang lemah, tetapi menunjukkan peradaban leluhur yang sarat nilai. Oleh karena itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat menjadikan tradisi berburu paus sebagai salah satu objek wisata.
Cara Berburu Paus di Lamalera
Sebelum perburuan dimulai, biasanya masyarakat Lembata khususnya Suku Wujon yang tinggal di atas gunung akan turun ke pantai dan berdoa memanggil paus sekaligus meminta berkah dari arwah leluhur untuk para nelayan yang akan pergi berburu. Lalu, pada 1 Mei akan disediakan 20 kapal untuk berburu yang menandakan jumlah suku yang ada di Lamalera, tapi hanya satu yang diperbolehkan untuk berlayar pada hari pertama sebagai pembuka jalan, yaitu perahu Paraso Sapang sebagai suku tertua di Lamalera. Apabila perahu tersebut berhasil menemukan ikan paus, maka 19 perahu lainnya akan menyusul untuk membantu Paraso Sapang. Tetapi, jika perahu tersebut tidak berhasil, maka perburuan dilanjutkan hari selanjutnya secara bersama-sama.
Saat menemukan paus, lamafa dengan berani mendekati hewan tersebut dan perahunya berhadapan sangat dekat dengan kepala paus. Dalam posisi sangat berbahaya itu, ia langsung menikamkan tempulingnya, bambu panjang berujung besi panjang tajam berkait ke ketiak paus yang merupakan titik lemahnya. Untuk melumpuhkan paus sepanjang 10 meter dan tinggi satu meter tidaklah mudah, butuh sekitar 1,5 jam bertarung. Selanjutnya, hewan ini diikatkan pada salah satu sisi perahu dan ditarik ke darat. Kadang-kadang para pemburu tersebut menjadi korban akibat hempasan ekor ikan raksasa yang kaget saat ditombaki. Bahkan, perahu bisa langsung pecah dengan hanya satu kali tebasan ekor paus, sehingga tak jarang ada korban yang jatuh.
Comments
Post a Comment